KEDIRI, iNewsKediri - Pakar Ekonomi Politik Pangan Khudori mengatakan kenaikan harga telur yang menembus angka Rp30 ribu per kilogram (kg) merupakan imbas dari peternak yang merugi selama pandemi Covid-19.
Saat pandemi melanda, banyak peternak yang gulung tikar, atau mengurangi populasi ayamnya sehingga produksi telur menurun.
Hal itu dikarenakan pembatasan mobilitas masyarakat, tutupnya hotel-hotel maupun restoran, dan hingga warung-warung kecil.
"Sebagian mereka membiayai usaha dengan kredit usaha untuk membeli pakan dari pabrik pakan ternak, banyak yang terjerat utang, ada yang masih bertahan dengan mengurangi populasi tapi tidak sedikit yang juga mengurangi bahkan kandangnya sampai dijual, itulah yang terjadi selama pandemi," kata Khudori kepada MNC Portal, Minggu (28/8/2022).
Namun ketika masa pemulihan, akhirnya banyak hotel yang buka kembali, mobilitas sudah di longgarkan. Bahkan sering disanjung pemerintah sebagai negara dengan pemulihan terbaik. Sayangnya, kebangkitan ini masih berat untuk produksi telur.
Khudori menyebutkan, seiring dengan pemilihan permintaan akan telur kembali meningkat, di satu sisi produksi telur masih belum pulih setelah banyaknya para peternak yang gulung tikar atau mengurangi produksinya.
Sebab, 98% produksi telur di Indonesia masih dilakukan oleh peternak kecil.
"Sekarang dan mulai awal tahun lalu permintaan meningkat, ini bukan seperti produk manufaktur, ini makhluk hidup, ketika produksi masih rendah langsung di genjot untuk produksi tinggi, untuk merespon permintaan yang naik itu butuh waktu," sambung Khudori.
Disatu sisi, menurutnya Khudori harga yang pakan ternak yang saat ini juga sedang tinggi menjadi salah satu hambatan para peternak di Indonesia yang sebagian peternak kecil untuk bangkit kembali produksi.
"Produksi menjadi turun, pakan ternak naik juga , itu juga pasti berpengaruh terhadap ongkos produksi, biaya dan harga pokok produksi pasti naik ketika pakan naik, ketika pakan naik, pasti HPP juga naik," pungkasnya.
Editor : Rohman