KEDIRI, iNewsKediri - Sentot Ali Basyah Prawirodirjo merupakan tangan kanan Pangeran Diponegoro. Panglima Perang Jawa (1825-1830) ini dikenal memiliki taktik gerilya yang ditakuti kolonial Belanda.
Dari berbagai sumber yang dihimpun, Sentot pertama kali terjun ke medan perang Jawa (1825) pada usia 17 tahun. Sentot memendam amarah kepada Belanda yang telah menghabisi ayahnya, Ronggo Prawirodirjo yang juga ipar Sultan Hamengkubuwono IV.
Pengangkatan Sentot sebagai panglima perang laskar Dipopnegoro tak lepas dari usulan Gusti Basyah, panglima sebelumnya. Gusti Basyah gugur di medan perang. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, meminta Pangeran Diponegoro mengangkat Sentot untuk menggantikan posisinya.
Diponegoro mengabulkan permintaan terakhir itu. Sentot Alibasyah Prawirodirjo memimpin 1.000 orang pasukan khusus gerilya. Semuanya mengenakan sorban. Semuanya juga menunggang kuda (kavaleri) dengan keutamaan serangan kilat, cepat dan mematikan.
Dalam sumber menyebut, Sentot seorang panglima muda yang jenius sekaligus ditakuti itu terlibat dalam Perang Paderi (1821-1837). E.S de Klerck dalam buku “De-Java-oorlog van 1825-1830” menulis, tak lama setelah diangkat panglima perang, Sentot Ali Basyah langsung unjuk gigi.
Pada 5 September 1828, ia berhasil memukul mundur tentara Belanda pimpinan Sollwijn di Progo Timur. Beberapa minggu kemudian, Sentot juga berhasil meredam perlawanan Belanda di wilayah Banyumas dan Bagelen.
Sentot seringkali menggunakan penggerebekan sebagai taktik perangnya. Kepandaiannya dalam perang gerilya membuat Sentot tak hanya dihormati oleh pasukannya melainkan juga oleh pasukan Belanda.
Ia diakui sebagai musuh yang tangguh. “Oleh karena ia sangat pandai dalam peperangan guerilla, berani, dan gilang-gemilang dalam peperangan, ia mendapat nama yang harum dan dihormati oleh kawan dan lawan,” tulis H.P. Aukus dalam Het legioen van Mangkoe Nagoro, seperti dikutip Soekanto.
Kepiawaian Sentot sebagai panglima perang tak diragukan. Namun sayang kepemimpinanya tercoreng urusan uang pajak.
Pada Desember 1828, Sentot meminta kepada Diponegoro untuk memimpin seluruh kekuatan pasukannya. Ia juga meminta mengurusi penarikan pajak secara langsung demi keperluan prajuritnya.
Permintaan Sentot ini membuat Diponegoro cemas karena ia merasa perlu menjamin kebijakan pajak ringan serta tersedianya sandang dan pangan yang murah.
“Ia khawatir jika Sentot –yang terkenal dengan gaya hidupnya yang boros– diperbolehkan menggabungkan wewenang pemerintahan dan militer, karena rakyat biasa akan tertindas dan dukungan mereka terhadap perang sucinya akan sirna,” tulis Peter Carey.
Diponegoro juga menuliskan keprihatinannya dalam Babad Diponegoro. “Jika ia yang memegang pedang, juga diperbolehkan menggenggam uang, lantas bagaimana? Tidakkah itu membuat terbengkalai?” tulis Diponegoro.
Dengan berat hati Diponegoro mengabulkan usulan itu. Sentot mendapat dua pertiga bagian uang pajak cukai pasar di Kulon Progo dan Bagelen timur. Namun tak lama kemudian, kekhawatiran Diponegoro benar terjadi.
Satu kekalahan besar terjadi pada 8 Januari 1829. Saat itu Belanda telah membangun sebuah benteng besar di wilayah Nanggulan. Sentot tidak bereaksi cepat karena sibuk dengan urusan keuangan.
Ketika Sentot memerintahkan penyerangan, benteng Belanda sudah telanjur kuat. Akibatnya pasukan Sentot harus menelan kekalahan. Persoalan pajak juga kemudian berimbas pada ikatan baik antara Diponegoro dengan rakyat. Tanpa kepercayaan rakyat, gerilya Diponegoro tak akan berhasil.
Pada September 1829, perlawanan terorganisasi di Jawa Tengah selatan berakhir. Sentot akhirnya menyerah kepada Belanda pada 16 Oktober 1829. Penyerahannya menimbulkan kontroversi. Ia disebut mengambil keuntungan pribadi dari penyerahan tersebut.
Alasan lain menyebut ia sebenarnya masih ingin meneruskan perang. Namun karena kondisi perekonomian rakyat yang semakin memburuk karena perang tak kunjung usai, Sentot memilih menyerah.
Ia bergabung dengan Belanda yang sebelumnya diperanginya. Di bawah perintah Belanda, Sentot sempat bertugas di Salatiga, Batavia, dan Karawang.
Pada 1832, ia dikirim ke Padang untuk membendung pemberontakan para ulama di sana pimpinan Imam Bonjol. Namun, bukannya meredam pemberontakan, pihak Belanda curiga bahwa Sentot memiliki hubungan dengan para pemberontak.
Belanda kemudian memutuskan menahannya dan dikembalikan ke Batavia pada Maret 1833. Dari Batavia, pada Agustus 1833 Belanda menghukum buang Sentot ke Bengkulu.
Sebelum menjalani masa hukumannya di tahun 1833, Sentot diizinkan untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah. Dalam pembuangannya, ia banyak mengajarkan ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah agama Islam kepada masyarakat Bengkulu.
Sentot Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo meninggal dunia di pembuangan pada 17 April 1855 dalam usia 48 tahun. Makam Sentot Alibasyah Abdullah Mustofa Prawirodirjo terletak di Jalan Sentot Alibasyah, Kelurahan Bajak, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu.
Pemerintah Indonesia kemudian menetapkan makam Sentot sebagai salah satu cagar budaya Indonesia.
Editor : Solichan Arif