KEDIRI, iNewsKediri - Pelukis Hendra Gunawan menggarap sebuah patung bertema kepahlawanan di kawasan Kebon Sirih, Jakarta. Kehadiran patung seni tersebut bermaksud untuk menghidupkan Museum CPM (Corp Polisi Militer).
Pada masa rezim Orde Baru, gedung Museum CPM direnovasi. Pembenahan sekaligus pembaharuan berlangsung di sejumlah bangunan museum. Yang dianggap kurang sesuai, disesuaikan. Hasilnya banyak yang berubah, termasuk keberadaan patung ciptaan pelukis Hendra
“Patung yang terkenal sebagai ciptaan Hendra itu hilang entah ke mana,” tulis Agus Dermawan T dalam buku “Surga Kemelut Pelukis Hendra, Dari Pengantin Revolusi Sampai Terali Besi”.
Patung lain yang dikerjakan pelukis Hendra adalah “Monumen Raja Airlangga”. Dalam perjalanannya, patung itu kemudian menghiasai kawasan kampus Universitas Airlangga di Surabaya.
Pelukis Hendra memiliki nama lengkap Hendra Gunawan. Ia lahir 11 Juni 1918 di Bandung Jawa Barat. Hendra merupakan anak tunggal yang datang dari keluarga priyayi.
Raden Odan Tedjaningsih, ibunya merupakan putri Raden Karna Somantri, seorang School Toezichter atau Penilik Sekolah. “Sepangku jabatan yang sangat dihormati kala itu,” tulis Agus Dermawan T.
Raden Karna Somantri, kakek Hendra juga dikenal sebagai organisatoris. Ia ikut menyelenggarakan Kongres Boedi Oetomo bersama Dr Wahidin Soedirohusodo pada 1928.
Sementara ayah Hendra bernama Raden Prawiradilaga, seorang amtenar yang pernah menjabat Komisaris Kepala di Staatspoor (Jawatan Kereta Api) Bandung. Tak heran kalau akta kelahiran pelukis Hendra tertulis lengkap Raden Hendra Gunawan Prawiradilaga, yang meski ia tak mengindahkan gelar ningrat tersebut.
Pada tahun 1950, pelukis Hendra pernah bertekad membuat patung Jenderal Sudirman. Batu kali seukuran manusia ia tatah dengan ketekunan yang mengesankan. Kesulitan muncul saat Hendra hendak membuat ukiran wajah Sudirman.
Pada waktu itu tidak banyak potret Sudirman beredar. Kalaupun ada, wajah Panglima Besar tersebut tidak pernah terpotret secara jelas. Namun pembuatan patung itu akhirnya rampung. Istri dan anak Jenderal Sudirman lantas dihadirkan, untuk menyaksikan langsung.
Apa yang terjadi?Mereka terkejut dan pingsan. Mereka menganggap patung Jenderal Sudirman memiliki presisi yang luar biasa, berjiwa, sehingga patung seukuran manusia itu begitu beraura.
“Bapak terasa hidup kembali,” kata istri Jenderal Sudirman, Siti Alfiah seperti tertulis dalam “Surga Kemelut Pelukis Hendra, Dari Pengantin Revolusi Sampai Terali Besi”. Hingga milenium ketiga patung karya pelukis Hendra masih berdiri di depan gedung DPRD Yogyakarta.
Hendra merupakan dedengkot sanggar Pelukis Rakyat. Sejak berdiri di Yogyakarta, komunitas yang berisi para perupa itu juga belajar seni menatah batu. Bagi Hendra, setelah pembangunan Candi Prambanan pada abad ke-9, bangsa Indonesia tak lagi melanjutkan tradisi membuat patung tatah batu.
“Maka, kehadiran kehadiran patung-patung batu seniman Pelukis Rakyat bisa dinyatakan sebagai yang pertama setelah Candi Prambanan”.
Nama Hendra sebagai perupa sekaligus pematung, moncer. Pada tahun 1951, Pemerintahan Soekarno mengutusnya sebagai delegasi Indonesia dalam acara Youth Festival di Berlin Timur, Jerman Timur. Hendra juga mendapat fasilitas untuk bermuhibah.
Dalam rangka melihat karya seni, ia berjalan-jalan ke Italia, Rumania, Uni Soviet, dan Tiongkok. Hendra menyaksikan karya mural Diego Rivera, seniman Mexico ternama. Ia berharap besar bisa datang ke Mexico untuk belajar seni mural.“Namun keinginan yang kuat ini, tidak pernah menjadi kenyataan dalam hidupnya”.
Pada 20 Mei 1953, Monumen Tugu Muda Semarang berdiri di mana Presiden Soekarno yang meresmikan. Relief perjuangan yang menghiasi kaki monumen berukuran besar tersebut merupakan garapan Hendra bersama seniman Pelukis Rakyat.
Bung Karno sudah lama terkesan dengan karya seni Hendra. Pada saat Republik Indonesia masih berusia setahun, Bung Karno pernah meminta Hendra menggelar pameran lukisan di Gedung Komite Nasional Indonesia (KNI) di Jalan Malioboro, Yogyakarta.
Bung Karno juga sekaligus menjadi sponsornya. Saat pembukaan acara yang akan diresmikan Bung Karno, panitia meminta para pelukis membatasi jumlah pengunjung, dengan alasan jangan sembarang orang bisa masuk.
Hendra menolak dan diam-diam menyiapkan sesuatu yang mengejutkan. Di ruangan pameran lukisan, sejumlah besar gelandangan atau kere yang diseragami, mendadak hadir untuk menyambut Bung Karno.
Bung Karno tidak bisa berkata-kata. “Untuk beberapa saat presiden tertegun dan mengangguk-angguk, sambil pelupuknya menggenangkan air mata,” tulis Agus Dermawan T.
Hendra menganggap pemeran lukisan yang digelar untuk menunjukkan kemurahan hati pemimpin bangsa yang baru merdeka. Khususnya kemurahan hati Bung Karno, Bung Presiden begitu Hendra mengatakannya.
Dan karena dunia kere, gelandangan, tunawisma bagian dari empatinya, Hendra tidak ingin ada batasan bagi orang yang ingin melihat pameran lukisannya. “Setiap orang berhak menikmati lukisan saya,” katanya.
Paska peristiwa pameran lukisan di gedung KNI Yogyakarta itu, hubungan Hendra dengan Bung Karno terjalin persahabatan. Ia kerap diundang ke Istana Negara, termasuk membawa serta istri dan anaknya, Karmini dan Tresna Suryawan.
Pada tahun 1957 Hendra berencana menggelar pameran tunggal di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebuah hotel legendaris yang pada tahun 2000 telah berubah menjadi bangunan hypermarket Carrefour.
Hendra menyiapkan lukisan cat minyak gubahan sketsa “Pengantin Revolusi” yang ia gores pertama kali pada tahun 1947 dan disempurnakan pada tahun 1955.
Lukisan tersebut menceritakan dua sejoli rakyat jelata yang melangsungkan perkawinan di tengah kancah perang. Peristiwa pernikahan bersejarah itu terjadi di Karawang, Jawa Barat.
Hendra ingin menunjukkan kepada masyarakat seperti apa lukisan tentang rakyat karya pimpinan Sanggar Pelukis Rakyat.
Melalui pelukis Dullah, ia mengabarkan rencana pameran tunggalnya kepada Bung Karno, dan langsung dijawab: “Saya akan datang ke pameranmu. Jangan lupa, lukisan-lukisan revolusi”.
Pameran tunggal berhasil digelar. Bung Karno membeli lukisan dua gadis sedang mengecat gentong. Bung Karno menilai aktifitas dua gadis tersebut adalah refleksi perjuangan kaum wanita yang bekerja di bidang yang mereka mampu.
Sementara lukisan “Pengantin Revolusi” tidak terjual. Hendra harus menggulungnya lagi, dan membawanya pulang ke Gang Pebaki. Lukisan “Pengantin Revolusi” masih kalah dengan karyanya yang lain, yakni “Panglima Sudirman Ditandu”.
Pada November 1996, masyarakat seni rupa digemparkan dengan aksi pencurian lukisan di kantor Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), komplek TIM (Taman Ismail Marzuki), Jalan Cikini Raya 73, Jakarta.
Yang dicuri adalah lukisan karya Hendra Gunawan yang berjudul “Aku dan Istriku Karmini di Lonceng Kedua”, yang dilukis tahun 1976. Lukisan cat minyak itu berukuran 147 x 94,5 cm.
Beruntung, aksi pencurian tersebut berhasil digagalkan karena petugas memergoki. Namun lukisan yang dibeli DKJ langsung dari tangan Hendra tersebut, mengalami kerusakan parah.
Pelukis Hendra Gunawan yang juga pendiri Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta, tutup usia pada tahun 1983 di Bali. Sebelum wafat, ia sempat menuturkan potongan puisi : “Ia mandi di antara bunga-bunga mekar, membasuh rambutnya di sungai semerbak”.
Kalimat yang ia kutip dari puisi karya Chu Yuan, penyair paska Khonghucu berjudul “Dewa yang Berumah di Atas Awan” itu dikatakan Hendra sebagai titik berangkat kehidupan dirinya selama dalam penjara tahanan politik.
Editor : Solichan Arif