JAKARTA, iNewsKediri – Pemanasan global mengancam keberadaan es di puncak Gunung Jaya Wijaya di Kabupaten Yahukimo Papua.
Pemanasan global dan kenaikan suhu akibat cuaca ekstrem dapat menyebabkan es di Gunung Jaya Wijaya punah pada tahun 2025.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkapkan hal itu saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI di Gedung Parlemen Senayan Jakarta pada Senin (21/3/2022).
Dwikorita menyebutkan contoh ekstrem dampak pemanasan global yakni prediksi hilangnya es di puncak Gunung Jaya Wijaya. Puncak Gunung Jaya Wijaya pada 2020 lalu diketahui memiliki ketebalan es hingga 31,49 meter.
“Jika pemanasan dan kenaikan suhu terus terjadi dan tidak perubahan iklim tidak bisa dimitigasi maka pada 2025 diprediksi es sudah punah tidak ada lagi di puncak Jaya Wijaya,” kata Dwikorita Karnawati.
Kondisi es di Gunung Jaya Wijaya saat ini kata Dwikorita hanya tinggal 1 persen dari puncak area Jaya Wijaya yang memiliki luas 200 kilometer persegi atau saat ini lapisan es hanya ada di sekitar 2 kilometer persegi.
Ia juga mengatakan proyeksi iklim di 2030 berdasarkan basis 2006-2016, di 2030 suhu udara akan meningkat 0,5 derajat Celcius dalam kurun waktu 10 tahun dan curah hujan lebih kering 20 persen.
Hal ini dijelaskan Dwikorita Karnawati disebabkan potensi bencana hidrometeorologi semakin meningkat.
“Yang paling mencemaskan dari analisis BMKG, terjadi kenaikan suhu hingga tahun 2100 di seluruh provinsi pulau utama di Indonesia apabila tidak dilakukan mitigasi iklim,” jelas Dwikorita Karnawati.
Ia menyebutkan dibanding jaman pra industri pada 1850, ada peningkatan suhu udara 4 derajat Celcius saat ini. Artinya ada peningkatan empat kali lipat sudah terjadi saat ini.
“Hal ini menyebabkan cuaca ekstrem semakin sering, intensitas meningkat, dan durasi semakin panjang. Apalagi kalau suhu tersebut meningkat empat kali lipat setiap tahunnya di tahun 2100,” lanjut Dwikorita Karnawati.
Perubahan cuaca ekstrem karena El Nino dan La Nina di Indonesia juga disebut Dwikorita Karnawati semakin cepat siklusnya dari yang sebelumnya setiap 7 tahun sekali menjadi setiap tahun saat ini.
“Periode El Nino (musim kering panjang) dan La Nina (musim hujan basah yang ekstrim) periode sebelum 1980 itu 5-7 tahun sekali. Namun karena perubahan iklim pada 1981 memendek jadi 2-3 tahun, dan dua tahun terakhir terjadi setiap tahun,” kata Dwikorita Karnawati.
Cuaca ekstrem seperti badai tropis Cempaka dan Seroja seharusnya tidak menembus wilayah khatulistiwa seperti di Indonesia, namun sekarang juga kerap terjadi.
“Misalnya dua badai tropis tersebut yang biasanya hanya masuk ekornya saja, sekarang seluruhnya kepala hingga ekor masuk ke wilayah pulau,” terang Dwikorita Karnawati.
“Hal ini disebabkan karena kenaikan suhu udara, terakhir badai tersebut seluruh bagian badai masuk ke daratan NTT,” tambahnya.
Ia mengungkapkan bencana hidrometeorologi di Indonesia meningkat, menjadi bencana terbesar dengan prosentase 95 persen.
“Total bencana di 2021 ada 5.402 kasus bencana sebagai dampak perubahan iklim global,” pungkas Dwikorita Karnawati.
Editor : Solichan Arif