Ini alasan Soeharto memberikan izin Freeport menambang emas di Papua. Izin diberikan oleh Presiden Kedua Indonesia Seoharto pada 7 April 1967. Saat itu belum genap dua bulan Soeharto resmi menjadi Presiden kedua Indonesia.
Soeharto sudah memberikan izin kepada Freeport Sulphur of Delaware untuk menambang di Papua. Dirangkum Okezone, Rabu (7/12/2022), selama masa pemerintahan Orde Lama, Presiden Soekarno belum pernah mengizinkan satu pun investasi perusahaan asing di Indonesia.
Namun, Freeport menjadi yang pertama. Freeport adalah sebuah perusahaan penanaman modal asing (PMA) pertama yang ada di Tanah Air.
Dahulu, ketika Orde Baru masih seumur jagung, ekonomi Indonesia masih sangat tidak keruan. Adanya peristiwa G30S dan huru-hara di sejumlah daerah setelah peralihan kekuasaan semakin membuat kondisi ekonomi Indonesia tidak stabil.
Di mana, saat itu inflasi juga terjadi hingga mencapai 600-700%. Hal tersebut ditandai dengan naiknya harga kebutuhan pangan. Hal itulah yang menyebabkan pembangunan infrastruktur terhenti saat itu.
Namun, dengan cepat Soeharto langsung melakukan stabilisasi ekonomi dengan cara membuka ruang investasi bagi Freeport. Penandatanganan kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat tersebut dilakukan di Departemen Pertambangan Indonesia.
Pemerintah Indonesia, diwakili oleh Menteri Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills (Presiden Freeport Shulpur) dan Forbes K. Wilson (Presiden Freeport Indonesia), anak perusahan Freeport Sulphur.
Momen penandatanganan KK disaksikan oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall Green. Dalam kontraknya, selama 30 tahun terhitung sejak kegiatan komersial pertama dilakukan, Freeport mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar.
Tetapi, meski sudah mendapatkan izin dari pemerintah Indonesia di tahun 1967, Freeport baru benar-benar mulai menambang emas dan tembaga di Papua sekitar tahun 1973 .
Maret 1973, penambangan Ertsberg pun dimulai. Lalu, pada Desember 1973 engapalan 10.000 ton tembaga pertama kali dilakukan dengan tujuan Jepang. Saat itu, Presiden Soeharto terbang langsung ke Papua untuk meresmikan fasilitas produksi di Tembagapura.
Keberhasilan pertambangan di Freeport membuat Soeharto tersenyum saat melakukan pidato. Menurutnya, investasi Freeport di Indonesia adalah bukti kepercayaan investor menanamkan uangnya di Indonesia.
Baginya, masuknya Freeport ke Indonesia dapat menarik banyak investor asing masuk ke Indonesia, terutama yang terbesar adalah AS dan Jepang. Freeport diberikan izin menambah selama jangka waktu 30 tahun dalam skema Kontrak Karya (KK) yang bisa diperpanjang.
Namun, yang tidak banyak diketahui, di awal kehadirannya ternyata Freeport sempat berkonflik dengan penduduk setempat, utamanya Suku Amungme.
Tercatat dalam kontrak karya pertama, royalti untuk pemerintah Indonesia dari penambangan tembaga yang dilakukan Freeport sebesar 1,5% dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari 0.9 dollar AS/pound) sampai 3,5% dari harga jual (jika harga 1,1 dollar AS/pound). Untuk emas dan perak sendiri ditetapkan sebesar 1% dari harga jual.
Kemudian, menjelang kontrak berakhir, periode tahun 1980-1989 Freeport menemukan cadangan Grasberg.
Terakhir pada tahun 1991, pemerintah Indonesia mengizinkan Freeport untuk terus menambang di Papua dengan jangka waktu 30 tahun ke depan atau hingga tahun 2021 dengan hak perpanjangan sampai dengan 2 kali 10 tahun.
Selama di Indonesia Freeport menambang tembaga, emas, dan juga perak. Sehingga Gasberg disebut sebagai tambang emas terbesar di dunia.
Editor : Rohman