BLITAR, iNewsKediri - Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) saat ini tengah merajalela.
Bahkan, wabah ini semakin meluas di berbagai daerah.
Fajar SH, Ketua Bidang Komunikasi Publik Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Cabang Blitar mengungkap jika pemerintah sebaiknya buka-bukaan saja.
Selain itu, Fajar SH juga mempertanyakan tentang wabah PMK ini apakah murni atau ada unsur kesengajaan.
"Covid-19 yang telah menghancurkan kita dan banyak negara lain tiga tahun belakangan, serta Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang muncul akhir-akhir ini, masuk kategori wabah alami atau justru wabah yang timbul karena unsur kesengajaan," ujarnya.
"Hal ini penting untuk diketahui karena rakyat, alih-alih ingin mengatakan muak, sudah sangat kelelahan mendapat teror virus yang seperti tiada henti," tambahnya.
Meskipun Indonesia telah memiliki sistem International Health Regulation Tahun 2005 untuk menanggulangi penyakit Emerging Infectious Diseases (EID) dan Reemerging Diseases yang dapat mengakibatkan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit, tapi tetap saja, regulasi tersebut hanya berbicara tentang pencegahan penyebaran penyakit.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, jangkauan sistem International Health Regulation ini sangat minim dan terbatas, seperti penyakit masuk ke Indonesia terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan upaya, melokalisir daerah yang terkena wabah agar tidak meluas.
Atau harus ada korbannya lebih dulu baru bisa dilakukan penindakan.
Karena belum adanya aturan hukum terkait penggunaan bahan atau agen biologi atau belum ada aturan hukum yang mengatakan, "bagaimana jika wabah yang terjadi di Indonesia didalangi oleh seseorang atau kumpulan orang atau organisasi tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi, seperti menyebarkan virus agar anti-virus yang diciptakan laku di pasaran yang membuat setiap kasus terjadi selalu diawali dengan jatuhnya korban."
Terlebih jika aksi tersebut memang sengaja dilakukan untuk menyerang dan menyebabkan ketakutan serta kepanikan di dalam masyarakat dengan menggunakan bakteri, virus, jamur, parasit, dan produk biologi lainnya agar kondisi suatu negara menjadi lemah.
Maka, karena dampak yang ditimbulkan memakan korban dengan jumlah yang cukup banyak, definisi akademis dari aksi ini tidak boleh disamakan dengan definisi yuridis, tapi harus dimasukkan ke dalam extraordinary crime, seperti teroriseme misalnya.
Selain untuk memberi efek jera kepada pelakunya, juga untuk melindungi segenap tumpah-darah Indonesia.
Menurut Fajar SH, yang tak kalah penting adalah menegakkan martabat kita sebagai sebuah bangsa.
"Dengan belum adanya produk hukum tentang persoalan ini, pemerintah harus mengakui bahwa ada hal yang kurang di dalam tubuh kekuasaannya," jelasnya.
Fajar SH juga menjelaskan jika ada instrumen pemerintah yang lupa mereka kerjakan, padahal kasus serupa sudah pernah terjadi.
Dengan adanya kebijakan tersebut, seharusnya pemerintah sudah dapat mencegah persoalan yang tengah melanda masyarakat hari ini dan mungkin juga esok hari.
"Menurut hemat saya, daripada sibuk mempersiapkan kontestasi 2024 yang masih lama, lebih baik sisa waktu jabatan mereka dipergunakan untuk merumuskan sesuatu yang terkait dengan hajat hidup orang banyak dan menyelesaikan PR yang belum selesai. Karena, usulan tentang Undang-Undang Bioterorisme ini sudah digaungkan sejak beberapa tahun yang lalu," tegasnya.
"Kita semua tahu, negara merupakan bentuk puncak dari korporasi. Artinya, sebuah negara bisa hidup dan menghidupi rakyatnya dengan jalan bisnis, entah dengan rakyatnya sendiri atau dengan negara lain.
Dan bisa jadi biological weapon atau senjata biologi ini digunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai komoditas ekonomi, entah oleh seseorang atau kumpulan orang atau organisasi tertentu bahkan negara seperti beberapa kasus sebelumnya: Virus Cacar Kuda dibuat oleh ilmuwan dari Universitas Alberta yang ada di Kanada yang dibiayai oleh perusahaan farmasi Tonix dengan dalih untuk mengembangkan vaksin cacar yang lebih baik.
Virus Polio, diciptakan oleh para imuwan dari Universitas Negeri New York.
Virus Cacar Tikus diciptakan oleh para peneliti dari Universitas Nasional Australia dan Organisasi Riset Ilmiah dan Industri Persemakmuran (CSIRO).
Virus SARS diciptakan oleh sekelompok peneliti dari Universitas Carolina Utara.
Virus Phi-X174 diciptakan oleh para peneliti dari Institute of Biological Energy Alternatives di Amerika Serikat.
Flu Burung dibuat oleh para ilmuwan Belanda. Virus H1N1, yang pernah mewabah pada tahun 1918, yang kemudian diambil sampelnya oleh ilmuwan asal Jepang, Yoshihiro Kawaoka dan menjadi wabah pada tahun 2009.
Kemudian kita juga mengenal virus MERS-Rabies, lalu sekarang Cacar Monyet, Virus Hendra, PMK, dan lain-lain yang seharusnya tidak boleh kita sikapi dengan santai dan tidakan biasa-biasa saja seolah virus ini terbentuk secara alami," tambahnya.
Tak sampai disitu, Fajar SH juga mempertanyakan aksi kongkrit dari pemerintah terkait kasus PMK yang sedang terjadi.
"Misalnya kasus PMK, hari ini yang kita lihat hanyalah kegiatan sosialisasi dan himbauan agar masyarakat tidak panik karena virus tersebut tidak mematikan.
Informasi tersebut benar jika kasusnya terjadi pada sapi dewasa, tapi untuk anak sapi yang usianya di bawah 3 tahun penyakit ini mudah sekali menular dan untuk anak sapi yang usianya kurang dari 6 bulan penyakit ini memiliki tingkat mortalitas 50 sampai 60 persen.
Dan celakanya lagi, meskipun keadaannya sudah kritis seperti itu, mereka tetap meminta agar masyarakat tidak perlu menunggu tindakan penyemprotan dari Dinas Perternakan karena bisa dilakukan sendiri menggunakan cairan zat aktif yang mengandung natrium hipoklorit.
Sungguh menggelikan, karena kalimat itu diucapkan oleh pihak yang seharusnya bisa melakukan tindakan lebih dari sekadar himbauan.
Pikiran yang sederhana dan cenderung ndeso seperti itu diucapkan oleh mereka yang memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Kalau ujung-ujungnya semua masalah dikembalikan kepada masyarakat, lalu apa gunanya negara.
Maka saran saya untuk para pemimpin tertinggi yang sedang menjabat hari ini di Kabupaten Blitar, tindaklah para aparatur yang malas dan ngawur seperti itu dengan prinsip yang biasa dipraktikkan di dunia kemiliteran: Prinsip pertama; kalau tidak bisa dibina, ya dibinasakan. Prinsip yang kedua; tidak ada pasukan yang bodoh, yang ada hanyalah pemimpin yang gebleg," tegas Fajar SH.
Editor : Rohman
Artikel Terkait