get app
inews
Aa Read Next : Jangan Kaget Bila Suatu Hari Bahasa Jawa Mendunia, Ini Alasannya

Penyebaran Islam di Malang Raya Dimulai Dari Masjid Peninggalan Pengikut Pangeran Diponegoro

Minggu, 10 April 2022 | 20:52 WIB
header img
Masjid Tertua di Malang (dok MPI/Avirista)

MALANG, iNewsKediri - Keberadan masjid di daerah Bungkuk Kelurahan Pagentan memiliki kontribusi besar penyebaran Islam di wilayah Singosari, Kabupaten Malang.  

Masjid pertama sekaligus tertua di Malang Raya tersebut bernama At Thohiriyah. Namun sebagian besar warga lebih mengenal sebagai Masjid Bungkuk.

Lokasinya berada di tengah-tengah permukiman warga. Melihat sepintas bagian luar tidak terlihat kesan tua. Namun begitu menginjakkan kaki ke dalam ruangan, cerita tentang ketuaanya benar adanya.

Pada bangunan utama terdapat empat tiang setinggi lima meter yang berdiri terpisah. Masing-masing permukaan kayu jati tersebut terukir ayat kursi. Sebuah kompleks pemakaman terlihat berada di belakang masjid. Makam para pendiri masjid.

Penasehat Takmir Masjid At Thohiriyah KH. Moensif Nachrawi mengatakan, pada awal abad 18 masjid mulai berdiri. Saat itu kawasan yang ada masih berupa hutan belantara. Seorang bekas laskar Pangeran Diponegoro yang bernama Hamimmuddin yang memulai pembangunan.

“Hamimmuddin datang dari Laskar Pangeran Diponegoro, ini menjadi bagian dari laskar yang semburat tercerai berai pasca Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda pada tahun 1930,”  ujar KH. Moensif Nachrawi, ditemui di kediamannya di Jalan Bungkuk.

KH. Hamimmuddin memulai aktivitas dakwahnya. Ia menjalankan pesan Pangeran Diponegoro yang menyerukan untuk terus menyebarkan agama Islam dimana pun laskar berada. Di awal syiarnya Hamimmuddin mendirikan bangunan kecil serupa gubuk.

“Daerah ini saya bilang masih hutan belantara, dia (KH. Hamimmuddin) bikin gubuk karena terbuat dari bambu dari gedek dari daun-daunan kecil, untuk mengajar mengaji dan salat,” terang Moensif Nachrawi.

“Bangunan kecil itu dipakai untuk mengajar ngaji di lingkungan orang-orang yang mayoritas Hindu, memang orang-orang agama Hindu datang jauh lebih dulu di sini, sehingga kerajaan-kerajaan yang ada dulu adalah kerajaan Hindu,” tambahnya.

Menurut Moensif Nachrawi, ketika itu pengaruh Hindu masih kental. Hal itu akibat pengaruh keberadaan Kerajaan Singasari yang runtuh pada abad ke-13.

“Kerajaan Singasari itu di sini dibangun abad 12, punahnya abad 13, dan ini masuk abad 18. Jadi artinya sudah sekitar lima ratusan tahun kemudian,” kata dia.

Islam terus menyebar dan meluas. Tidak hanya di Singasari, tetapi juga di wilayah sekitarnya. Menurut Moensif, salah satu faktor mudahnya penyebaran Islam karena Islam tidak mengenal kasta sebagaimana dalam Hindu. Hal ini mendorong masyarakat, terutama golongan sudra berminat belajar Islam.

“Di luar dugaan kyai Hamimuddin, karena rupanya setelah itu orang berbondong-bondong, sebab musababnya agama Hindu mengenal empat kasta dari brahmana yang tertinggi sampai sudra yang terendah,” ungkap tokoh ulama berusia 87 tahun ini.

KH. Hamimmuddin mengajarkan cara-cara beribadah salat, ngaji, bersujud. Dari cara ibadah melalui salat di rukuk dan sujud inilah muncul kata Bungkuk, yang berasal dari kata kerja serapan bahasa Jawa, yang berarti posisi tubuh agak ditekuk ke depan.

Maka ketika orang-orang yang masih beragama Hindu melihat cara peribadahan Islam yang mudah dan tidak membeda-bedakan kasta menjadikan ketertarikan.

“Kiai Hamimuddin mengajar, di sana ngajar ngaji, ngajar salat, di sana wong bungkuk bungkuk. Iya nggak tahu aktivitas apa, tahunya gini wong bungkuk - bungkuk (rukuk - rukuk, rukun salat), yang rupanya sampai sekarang dilestarikan wilayah ini namanya wilayah Bungkuk,” terangnya..

Istilah bungkuk pun kian populer digunakan masyarakat dan terdengar dari mulut ke mulut. Agama Islam menyebar dengan cepat karena ketiadaan kasta layaknya di agama Hindu. Masyarakat Singosari saat itu menyebutnya bungkuk, agar mudah mengistilahkan ajaran agama baru yang dibawa oleh KH. Hamim.

Mereka lantas melabeli daerah tempat KH. Hamimmuddin mengajarkan agama Islam sebagai istilah bungkuk. Dari situ awal muka bungkuk dikenal dan kian mendatangkan banyak santri-santri dari berbagai kalangan yang tinggal di Singosari.

“Merasa santri makin lama makin banyak mulailah dibangun gedung masjid yang lebih luas, Kalau awalnya berupa gubuk saja, dari bambu, dari daun-daun, kemudian sudah nggak bisa nampung lagi,” kata Moensif Nachrawi.  

“Lalu dipikirlah sebuah bangunan yang lebih semi permanen, sudah ada bata, ada kayu, ada genteng, karena sudah dimulai genteng itu maka harus ada penyangga kuda-kuda dan ada tiang itu zamannya kiai Hamimuddin, ketika santri sudah mulai makin lama makin banyak,” imbuhnya.

Empat tiang yang saat ini masih dipertahankan merupakan cikal bakal Masjid Bungkuk. Dalam perjalanannya Kiai Hamimuddin yang memiliki 7 orang anak kemudian menyerahkan pengelolaan pondok pesantren dan masjidnya kepada menantunya yang bernama KH. Thohir.

Kiai Thohir menikahi Siti Murtasiah, putri sulung Kiai Hamimuddin. KH. Thohir berasal dari Cangaan, Bangil, yang merupakan satu angkatan dengan ulama asal Bangkalan Madura Kiai Syaikhona Cholil atau Mbah Cholil.

Kiai Thohir memiliki kharisma yang besar, yang itu membuat santri-santri dari berbagai daerah berdatangan ke wilayah  Bungkuk.

Kiai Thohir juga dikenal sebagai waliyullah yang memiliki karomah luar biasa. “Santri makin lama semakin banyak santri hingga akhirnya masjid itu dinamakan Masjid At Thohiriyah, yang diambil namanya KH. Thohir,” tuturnya.

KH. Moensif Nachrawi mengakui Masjid Bungkuk ini merupakan masjid tertua di Malang raya. Hal itu ia ketahui dari sejumlah literasi dan informasi dosen yang menugaskan mahasiswanya melakukan penelitian Islam di Malang Raya.

Namun terkait data penelitian tersebut, ia mengaku tidak memiliki salinannya. “Saya nggak bisa mengatakan pasti karena saya tidak pernah survei, yang jelas di sini abad 18," jelasnya.

Saat ini Masjid At Thohiriyah telah bertransformasi sebagai salah satu pusat syiar agama Islam dan tempat ibadah yang lebih modern.

Bangunan yang ada telah mengalami tiga kali rekonstruksi, namun corak khas empat tiang utama yang jadi awal mula masjid tetap dipertahankan hingga kini.

Editor : Solichan Arif

Follow Berita iNews Kediri di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut