KEDIRI, iNewsKediri - Salah satu jenis penyakit yang patut diwaspadai saat memasuki musim pancaroba adalah penyakit Demam Berdarah atau DBD.
Sebab, pada musim pancaroba menjadi waktu yang tepat bagi nyamuk untuk berkembang.
Pada situasi ini, maka akan mengakibatkan mengalami masalah kesehatan, satu diantaranya adalah DBD.
Dokter Spesialis Anak Konsultan Penyakit Infeksi & Tropis Anak dari Universitas Indonesia, Dr. dr. Debbie Latupeirissa, Sp.A (K) mengingatkan DBD disebabkan virus dengue yang dibawa nyamuk Aedes Aegepti.
Penyakit ini ditandai dengan gejala khas seperti demam tinggi tanpa disertai gejala lainnya, misalnya tanpa disertai batuk, pilek, ataupun sesak napas.
"Memasuki musim pancaroba, berbagai masalah kesehatan di negara tropis kembali hadir. Salah satu yang perlu diwaspadai adalah demam berdarah dengue (DBD)", ujar Dokter Debbie.
Beberapa pasien juga mengeluhkan gejala nyeri di belakang mata, sakit kepala, nyeri sendi, hingga munculnya bercak merah pada kulit atau perdarahan.
"Meski demikian, biasanya bercak merah pada kulit belum terlihat pada hari-hari awal," kata Debbie.
Menurut Debbie, walaupun termasuk self-limiting disease atau penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya, tak jarang penyakit DBD menimbulkan korban jiwa jika tidak cepat ditangani.
Terlebih lagi jika pasien DBD telah memasuki fase berbahaya, dan terjadi pada anak-anak berusia lebih kecil yang belum dapat mengutarakan kondisi mereka.
Oleh karena itu, tak sedikit pasien DBD kemudian dirawat di rumah sakit untuk dipantau lebih ketat kondisinya.
Mengenai perjalanan penyakit, ada tiga fase DBD, yakni hari 1-3 disebut fase febrile tanpa perdarahan.
Dalam fase ini biasanya terjadi gejala awal seperti demam tinggi, sakit kepala, nyeri sendi, dan nyeri belakang bola mata.
Setelah memasuki hari 4-5, demam cenderung turun.
Pada tahap ini, pasien mulai memasuki fase kritis.
Dalam kasus pasien anak, kebanyakan orangtua tidak mewaspadai fase ini ketika demam turun sehingga mengira si kecil justru sudah mulai sembuh.
Padahal, pada fase ini risiko terjadinya syok jauh lebih besar.
Selain itu, dapat terjadi pula penurunan trombosit lebih jauh yang ditandai dengan perdarahan, seperti mimisan, gusi berdarah atau timbul bintik-bintik merah pada kulit yang spontan.
Pada fase kritis terjadi perembesan plasma darah sehingga terjadi peningkatan kekentalan darah atau hematokrit dan hal ini penting diwaspadai.
Pada fase ini, pasien memerlukan banyak cairan dengan banyak minum atau pemberian cairan infus.
"Jika kebutuhan cairan tidak tercukupi, risiko si kecil mengalami syok yang dapat membahayakan jiwa akan meningkat. Apalagi jika syok tidak teratasi dalam waktu cepat, kemungkinan akan terjadi komplikasi perdarahan hebat yang akan sulit diatasi," jelas Debbie yang juga tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) itu.
Editor : Rohman