KEDIRI, iNewsKediri - Calon Arang adalah seorang janda asal Desa Jirah (sekarang Gurah) Kediri, yang ditakuti. Calon Arang terkenal gampang naik darah dan tak bisa disenggol. Setiap murka, pemuja Dewi Durga tersebut selalu menebar teror.
Calon Arang yang juga biasa dipanggil Ni Rangda atau Rangda dari Jirah, menumpahkan amarahnya melalui ilmu teluh yang dimiliki. Ia menebar wabah penyakit.
Pada masa Raja Airlangga (1019-1037), pagebluk atau wabah penyakit mematikan pun melanda sebagian besar rakyat Kediri atau Daha.
Korban berjatuhan. Situasi mencekam tersebut digambarkan bagaimana hanya merasa kurang enak badan di pagi hari, siang sudah meregang nyawa. Begitu juga sakit di siang hari, sorenya tewas.
Dalam prosa lirik “Calon Arang Korban Patriarki”, Toeti Heraty mengisahkan, bagaimana di puncak amarahnya Calon Arang memohon izin Batari Durga melenyapkan semua penduduk tetangganya.
Istri Dewa Syiwa itu mengijinkan: “Boleh saja, kata Batari, tetapi hanya daerah pinggiran atau desa, jangan memusnahkan orang sampai ke kota”.
Penyakit aneh yang mematikan itu hanya melanda rakyat Daha yang bertempat tinggal di luar ibu kota kerajaan.
Raja Airlangga pun berduka. Usut punya usut, kemarahan Calon Arang dipicu tiadanya laki-laki yang meminang putri semata wayangnya, Ratna Manggali. Usia Ratna sudah menginjak 25 tahun.
Namun tidak ada orang tua yang berminat menjadikannya menantu karena takut berbesan dengan janda tukang teluh. Meski Ratna Manggali berparas jelita, para jejaka juga enggan mendekat karena khawatir diteluh penyembah Dewi Durga atau Dewi Bagawati.
Membayangkan putrinya yang cantik jelita bakal menjadi perawan tua, dada Calon Arang seperti terbakar. Sebagai seorang ibu sekaligus seorang janda, Calon Arang merasa terhina.
“Alangkah marahnya sang janda. Alangkah malunya sang janda,” tulis Toeti Heraty.
Calon Arang bersama murid-muridnya kemudian bergegas ke kuburan. Wersirsa, Mahisawandana, Lendya, Lende, Lendi, Guyang, Larung, dan Gandi. Mereka menggelar ritual.
Murid-murid kinasih Calon Arang itu menandak -nandak (menari) mengikuti sang guru yang merapal mantra. Usus manusia melingkar di lehernya sebagai kalung. Kedua daun telinganya beranting paru-paru, dan rambutnya dikremasi darah manusia.
Calon Arang tertawa senang melihat kematian di mana-mana. Bahagia melihat tangis penduduk Kediri yang kehilangan keluarga. Persebaran penyakit tak bisa dicegah.
Serangan wabah meluas hingga ke puncak gunung. Para pendeta kerajaan merasa kehilangan muka. Mereka malu bertemu rakyat karena tak berdaya menolak teluh ciptaan Calon Arang.
Raja Airlangga sedih melihat penderitaan rakyat. Kewibawaanya sebagai penguasa, terguncang. “Kewibawaan raja terganggu di tahta," tulis Toeti Heraty dalam “Calon Arang Korban Patriarki.
Airlangga mencoba mengerahkan pasukan kerajaan untuk menyerbu Jirah, namun gagal. Calon Arang beserta murid-murinya melawan.
Patih dan para menteri utama kerajaan kemudian diminta mengundang para pendeta, resi, pujangga dan guru. Semuanya berkumpul dan bersama-sama melakukan ritual pemujaan kepada Sang Hyang Agni, sekaligus meminta petunjuk.
Dewata pun menurunkan petunjuk yang mengarah kepada nama Sri Munindra Baradah atau Mpu Baradah. Yakni seorang pendeta sempurna yang bertempat di pertapaan Semasana, Lemah Tulis.
“Dialah yang dapat meruwat kerajaanmu, yang akan menghilangkan noda di dunia, membuat sejahtera dunia”.
Mpu Baradah bagi Raja Airlangga bukanlah orang asing. Hasil penelitian Louis Damais, sarjana Perancis (1540) pada naskah kuno menyebut, Mpu Baradah pernah menyarankan Airlangga membagi tahta kerajaan.
Satu tahta di Jawa (Kediri) dan satunya di Bali. Namun sarannya tidak terwujud, karena ada penolakan Sri Mpu Kuturan di Bali. Mpu Kuturan yang lebih sakti ingin menempatkan cucunya sendiri di tahta, dan menolak raja dari Jawa.
Kelak, Mpu Baradah menyarankan Raja Airlangga membagi tahta menjadi Kerajaan Kediri atau Panjalu dan Kerajaan Jenggala.
Sementara begitu menerima titah raja Mpu Baradah langsung mengutus Mpu Kebo Bahula, murid kesayangannya. Bahula adalah seorang pujangga dari Gangga Citra. Mpu Baradah tahu, murka Calon Arang berakar dari putrinya yang terancam menjadi perawan tua. Ia pun memerintahkan Mpu Bahula untuk meminang Ratna Manggali.
“Dia akan kusuruh melamar Sang Manggali. Engkau Kanuruhan (utusan Raja Airlangga) beritahukanlah kepada Sang Penguasa Dunia, berapa saja mahar yang diminta hendaklah dipenuhi oleh raja,” tulis Toeti Heraty.
Kerajaan pun langsung menyiapkan mahar lamaran berupa hidangan makanan, buah -buahan ditambah jamuan upacara: tuak, nasi, ikan, sampo, berem, kilang, serta serebad budur dan minum cakelang.
Siasat penaklukan berjalan lancar. Calon Arang menerima Mpu Kebo Bahula sebagai menantu. Kendati demikian Rangda Jirah memberi peringatan: “Namun janganlah tidak bersungguh-sungguh dengan Ratna Manggali”.
Dalam lamarannya Bahula juga menyerahkan sirih tanda pertunangan, perak hadiah perkawinan, selendang, permata ratna mutu manikam yang berkilauan. Mpu Bahula dan Ratna Manggali, sah sebagai suami istri. Keduanya saling mencintai.
Sesuai prosa Calon Arang berkode LOR 5387/5279 yang tertulis pada daun lontar di Puri Cakranegara, Lombok, Mpu Bahula kemudian mulai memata-matai aktifitas Calon Arang.
Ia melihat pada setiap menjelang malam, janda Jirah itu selalu membawa lipyakara, pustaka suci, dan pergi ke kuburan. Bahula yang sengaja mengawasi, lalu bertanya kepada Ratna Manggali: “Dinda, adikku tercinta, mengapakah ibu selalu pergi malam hari? Saya khawatir Dinda”.
Rahasia kesaktian Calon Arang pun bocor. Ratna Manggali cerita, ibunya ke kuburan untuk menjalankan sihir atau teluh. Sihir itulah yang mengakibatkan terjadinya pagebluk.
Mpu Bahula berhasil menyentuh lipyakara. Sastra Lipyakara merupakan buku suci yang berisi hal utama untuk jalan kebaikan menuju kesempurnaan, puncak rahasia pengetahuan.
Calon Arang sengaja membelokkan isi ajaran untuk kesaktian sihir dan kesengsaraan. Bahula kemudian memperlihatkan kitab Lipyakara kepada Mpu Baradah, gurunya. Rahasia kesaktian Calon Arang yang selama ini sulit terkalahkan, terungkap.
Mpu Baradah lantas mendatangi Calon Arang. Saat bertemu Mpu Baradah, CalonArang memperlihatkan keramahan sebagai besan. Janda Jirah itu juga meminta Sang Bogiswara Baradah meruwatnya. “Mohon diruwatlah sebagai besan”.
Mpu Baradah melihat Calon Arang menanggung dosa yang teramat besar, dan karenannya permintaan itu ditolaknya mentah-mentah. Seketika itu Calon Arang murka.
Ia memperlihatkan kesaktiannya. Dari mata, mulut, hidung, telinga muncul kobaran api yang langsung menyambar, membakar tumbuhan yang ada di sekelilingnya.
Tapi api gagal menghanguskan tubuh Mpu Baradah. “Saya tidak mati kau sihir, Besan. Aku ambil nyawamu semoga kamu mati di tempatmu berdiri”. Mpu Baradah menumpas Calon Arang dengan rapalan asta capala.
Perempuan tukang teluh, penyembah Batari Durga di kuburan yang ritualnya memakai darah dan organ manusia itu, mati seketika di tempatnya berdiri. Rakyat Kediri kembali tentram. Kewibawaan Raja Airlangga kembali terjaga, yang kelak kemudian membagi kekuasaannya menjadi Kerajaan Kediri atau Daha dengan Kerajaan Jenggala.
“Lalu bagaimana sikap Ratna Manggali, apakah akan saling menyalahkan sepanjang hayat. Suatu saat istri sadar menimbang antara cinta dan tipu muslihat, pula akan tersiksa menyalahkan diri karena ibu telah terkhianati,” tulis Toeti Heraty dalam Calon Arang Korban Patriarki.
Editor : Solichan Arif