BLITAR, iNewsKediri - Era reformasi memang telah dimulai sejak 1998 yang ditandai tumbang purnanya Orde Baru. Salah satu implikasi lahirnya reformasi adalah berkesempatannya rakyat Indonesia tahun 2004 bisa memilih pemimpin nasional secara langsung dan pertama kali dalam sejarah pilpres di Indonesia.
Dinamika fikir masyarakat untuk mengekspresikan kebebasannya dalam bersikap telah diberikan ruang oleh negara hingga terbawa kedalam tantangan apakah pilihan sikapnya bisa membawanya dalam esensi nyata kemanfaatan yang tidak merugikan orang lain. Tentu persoalan ini memerlukan jawaban yang tidak langsung begitu ada, melainkan membutuhkan jawaban melalui perjalanan dinamika masyarakat itu sendiri.
Dalam tataran pemilihan presiden dan wakil presiden di era reformasi, sudah berlangsung empat (4) kali dan membawa segala bentuk ekses positif bagi demokrasi namun juga dibarengi dengan potensi disintegrasi kebangsaan akibat berbeda pilihan meski dianggap biasa oleh demokrasi.
Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, tentu umat Islam Indonesia menaruh atensi cukup serius agar kerukunan nasional tetap terjaga tanpa syarat dan pemilihan pemimpin tertinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga lapisan paling bawah dapat berlangsung damai, adil, penuh persaudaraan, jujur dan membawa suka cita bagi warga Indonesia itu sendiri.
Memotret peristiwa-peristiwa di dalam ekosistem pemilihan pemimpin nasional, regional hingga tataran lokal, memang membawa kita dihadapkan pada sikap yang mesti tegas, tidak diperkenankan memihak manapun atau istilah familiar saat ini ialah sikap yang moderat dan keinginan ini ialah agar tidak merugikan pihak manapun dari sisi materi maupun imateri.
Saya melihat dan menilai, konsep Wasathiyah dalam ajaran agama Islam mesti dijadikan pijakan atau pegangan bagi umat muslim dan umumnya bisa diadopsi seluruh masyarakat non muslim di Indonesia untuk memberikan sikap yang tegas atas dirinya dalam menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan matang yang rasional. Ketegasan sikap melalui konsep Wasathiyah di sini saya maknai sebagai ekspresi yang jujur, objektif dan bisa diterima akal sehat meski nantinya mereka menentukan pilihannya tanpa segala intervensi.
Umumnya, konsep Wasathiyah ialah ajaran Islam bagi umatnya supaya mampu bersikap adil, proporsional, seimbang dan bermanfaat. Berangkat dari titik ini, persepsi kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia khususnya warga yang beragama Islam mestinya bisa mengamalkan sikap kita dalam memilih pemimpin bisa difiltrerasi dari nilai-nilai konsep Wasathiyah. Bila diperas, esensi tujuan ajaran Wasathiyah ini adalah penciptaan suasana yang aman, tertib, damai dan jauh dari hingar bingar perpecahan persaudaraan kebangsaan.
Sebagaimana dikatakan Khairan Muhammad Arif dalam artikel ilmiahnya yang berjudul 'Moderasi Islam (Wasathiyah Islam) Perspektif Al Qur'an, As Sunnah, Serta Pandangan Para Ulama dan Fuqaha', mengatakan Ulama At-Thabari berpendapat bahwa umat Islam yang wasathiyah adalah “Umat Islam adalah umat moderat, karena mereka berada pada posisi tengah dalam semua agama, mereka bukanlah kelompok yang ekstrem dan berlebihan seperti sikap ekstremnya nashrani dengan ajaran kerahibannya yang menolak dunia dan kodratnya sebagai manusia. Umat Islam juga bukan seperti bebasnya dan lalainya kaum yahudi yang mengganti kitab-kitab Allah, membunuh para Nabi, mendustai Tuhan dan kafir pada-Nya. Akan tetapi umat Islam adalah umat pertengahan dan seimbang dalam agama, maka karena inilah Allah menamakan mereka dengan umat moderat,”.
Bahkan, di dalam Al Qur'an Surat Al Baqarah ayat 143 dikatakan "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu,".
Dari Abu Said Al-Khudri R.A., Nabi Muhammad SAW menjelaskan makna ummatan wasathan, dalam ayat ini adalah 'Keadilan' (H.R. Tirmidzi, Shahih). At-Thabari juga menjelaskan bahwa makna 'wasathan' bisa berarti posisi paling baik dan paling tinggi.
Dengan demikian, kita berharap literasi Wasathiyah kedepan semakin hidup dan mewujud di dalam realita kehidupan, agar kondisi kebangsaan kita yang berkomposisi multietnis, agama, ras, hingga golongan ini dapat membaur rukun, kolaboratif dan produktif demi kemajuan negara serta kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat konstitusi dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
*Penulis: FAISAL NUR RACHMAN, S.H.. Aktivis di Organisasi Masyarakat Perhimpunan Pergerakan Indonesia atau PPI Kabupaten Blitar dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Program Magister Hukum.
Editor : Rohman