JAKARTA, iNewsKediri - Melambungnya harga-harga kebutuhan pokok akibat dicabutnya subsidi oleh Pemerintahan Soekarno, membuat mahasiswa marah.
Para aktivis kampus murka. Apalagi setelah menyaksikan Bung Karno yang tak tegas membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia). Bung Karno berdalih, PKI berjasa besar terhadap perjuangan kemerdekaan.
“Pengorbanan mereka (PKI) selama perjuangan kemerdekaan Indonesia lebih besar daripada pengorbanan partai-partai dan golongan-golongan lain,” kata Bung Karno saat berpidato di depan para aktivis mahasiswa KAMI di Jakarta 21 Desember 1965. Harold Crouch menuliskan peristiwa tersebut dalam buku Militer dan Politik di Indonesia.
Mahasiswa tak lagi mempercayai Presiden Soekarno. Mereka juga curiga kenaikan harga kebutuhan pokok sebagai bagian upaya pengalihan isu yang dilakukan sejumlah menteri. Harga yang naik dan kebijakan sanering atau pemotongan nilai rupiah, disinyalir untuk mengalihkan isu pengganyangan PKI/Gestapu.
“..untuk mengalihkan perhatian rakyat dari fokus pengganyang Gestapu/PKI menjadi soal-soal kenaikan harga ke issue ekonomi,” tulis Soe Hok Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran.
Hari itu tanggal 10 Januari 1966. Didahului berkumpul di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Salemba, yakni kampus yang dipandang memiliki kedudukan sejarah penting dalam melawan kesewenang-wenangan. Mahasiswa turun ke jalan.
Mereka adalah para aktivis mahasiswa yang mengorginisir diri ke dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). KAMI adalah sebuah federasi yang mewadahi organisasi-organisasi mahasiswa Indonesia. Kelahiran KAMI pada 25 Oktober 1965 disokong penuh Jenderal Angkatan Darat, Sjarif Thajeb.
“Saya melihat ormas-ormas mahasiswa sebagai satu-satunya organisasi yang bergerak di bidang politik disamping ABRI yang benar-benar bewust (sadar) dalam melawan PKI. Dan ini perlu diorganisir,” kata Sjarif Thajeb seperti dinukil Christianto Wibisono dalam buku Aksi-aksi Tritura: kisah sebuah partnership 10 Djanuari-11 Maret 1966.
Pada 10 Januari 1966 itu KAMI mengerahkan massa besar-besaran. Mereka mengusung tiga tuntutan rakyat yang kemudian dikenal bernama Tritura. Ketiga gugatan itu adalah pembubaran PKI, perombakan kabinet Dwikora dan penurunan harga. Unjuk rasa mahasiswa tidak hanya di Jakarta, tapi juga berlangsung di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Makassar dan Banjarmasin.
Yozar Anwar dalam buku Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian, menyebut 10 Januari 1966 sebagai “Hari Kebangkitan Mahasiswa Indonesia”. Digambarkan bagaimana para mahasiswa mampu menjaga solidaritas secara ketat. Di bawah terik panas matahari bulan ramadan, para aktivis mahasiswa tetap mempertahankan puasanya.
Mereka yang beragama non muslim bersolider. Christianto Wibisono dalam buku Aksi-aksi Tritura: Kisah Sebuah Partnership 10 Djanuari-11 Maret 1966, menyebut mereka (mahasiswa non muslim) menahan diri untuk tidak merokok. Juga tidak ada yang menikmati sebutir permen.
“Semua massa KAMI ini bertekad menunggu sampai ada seorang menteri atau waperdam yang muncul menerima Tritura,” kata Christianto Wibisono
Yel-yel ejekan mahasiswa berkumandang di mana-mana. Mereka tidak hanya mengejek para menteri, tapi juga Bung Karno. Mahasiswa kecewa dengan kehidupan seksual yang berlansung permisif dan liar di istana kepresidenan. Mereka melampiaskan kemarahan dengan mencorat –coret dinding rumah Hartini, salah seorang istri Bung Karno.
Dalam Catatatan Seorang Demonstran, Hok Gie menulis, coretan kata-kata “sarang sipilis” , “lonte agung istana”, dan “lonte gerwani agung” itu membuat Bung Karno marah besar dan mengatakan,” Hartini adalah istriku dan aku adalah bapakmu, jadi dia ibumu. Inikah yang dilakukan seorang anak terhadap ibunya?”.
Akibat tekanan mahasiswa yang berlangsung terus- menerus, pada 21 Februari 1966 pemerintah mengumumkan reshuffle kabinet Dwikora. Namun hasil reshuffle justru mengecewakan, karena menteri anti Gestapu justru diganti. Pada 23 Februari 1966 mahasiswa kembali turun ke jalan, menggelar demonstrasi.
Tentara marah. Mereka tak lagi menerima para demonstran dengan pidato. Massa direpresi dengan hunusan bayonet serta desing peluru. Namun massa tak gentar. Pada 24 Februari 1966, saat kabinet hasil reshuffle hendak dilantik, mahasiswa kembali berunjuk rasa besar-besaran.
Mereka memblokir jalan-jalan raya yang hendak dilintasi para menteri. Dikutip dari Aksi-aksi Tritura: Kisah Sebuah Partnership 10 Djanuari-11 Maret 1966, Ketua Presidum KAPPI M Husnie Thamrin mengatakan, hari itu mahasiswa tidak sedang berdemonstrasi, melainkan sedang bertempur.
“Saya tidak bisa mengatakan KAMI berdemonstrasi, karena seingat saya tidak demikian sebenarnya. Saya mengatakan bahwa pada hari-hari itu, KAMI bertempur!”.
Melalui puisi berjudul “Merdeka Utara” penyair Taufiq Ismail menggambarkan situasi hiruk pikuk saat itu. Tembakan aparat keamanan ke arah demonstran menewaskan seorang mahasiswa kedokteran UI Arief Rahman Hakim dan Zubaedah, seorang pelajar sekolah menengah.
Kemarahan massa makin terbakar. Presiden Soekarno mengimbangi dengan menerbitkan SK Presiden No 41/Kogam/1966. Isinya, mulai 26 Februari 1966, presiden menyatakan telah membubarkan KAMI. Namun oleh para aktivis mahasiswa, keputusan itu tak diindahkan.
Mahasiswa terus menggelar unjuk rasa besar-besaran bersama KAPPI dan Laskar Arief Rahman Hakim. Setelah berbulan-bulan ditekan aksi massa mahasiswa, Presiden Soekarno akhirnya menerbitkan surat perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).
Bung Karno mungkin berharap dia nantinya bisa bersiasat lain. Namun Supersemar yang berisi penyerahan wewenang kepada Soeharto justru membuat kekuasaan Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia kemudian berakhir.
Editor : Solichan Arif
Artikel Terkait